Sabtu, 13 Februari 2021

Penjual Minyak Wangi

 Penjual Minyak Wangi

Marni nampak pucat hari ini. Wajahnya terlihat pias dengan nafas naik turun. Marni bersegera membersihkan badan dan langsung menuju meja makan. Ternyata Marni sudah tidak tahan ingin segera menyantap semangkuk sayur asam dan sambal ikan pindang. Aromanya tercium dari depan rumah. Krupuk bundar berwarna putih tak ketinggalan tersedia menemani makan siangnya.

Marni agak terkuras tenaganya selama dua hari ini. Tugas akhir tahun yakni membuat penilaian angka kredit. Dua teman guru Marni yang berusia sekitar 50an meminta tolong kepada Marni untuk membuatkan nilainya. Selain itu kewajiban membuat penilaian semester ganjil juga harus segera diselesaikan sebagai laporan perkembangan siswa.

“Rasanya hari ini, aku capek sekali. Alhamdulillah pengajuan angka kredit sudah selesai. Mengisi buku rapot anak masih ada waktu 5 hari lagi. Semoga akan selesai sebelum waktunya,” gumam Marni.
“Emak, capek ya. Sini, Qia pijitin pundaknya,” kata Qia.
“Qia, sudah makan? Kalau belum, makan dulu saja, nanti lanjutkan memijitnya,” kata Emak.
“Sudah, Mak. Tadi Qia makan sama Mbak Lifa, karena ikannya ada durinya yang tajam, jadi Qia minta tolong dibersihkan sama Mbak Lifa,” jawab Qia sambil terus memijit pundak Emak dengan jari mungilnya.

Seragam dinas coklat, Marni tanggalkan dan berganti memakai baju daster panjang berwarna hijau tua bergambar bunga kecil-kecil. Kemudian Marni membereskan meja dan menutup makanan dengan tudung saji. Setelah meminum segelas air putih dan mencuci piring, Marni baru melaksanakan sholat Zuhur.

Sajadah merahnya menemani Marni saat menunaikan ibadah rukun Islam yang ke-5. Tiada sangka orang tua Marni memberi hadiah. Bapak memberikan dua pilihan diberi tambahan uang untuk membuat rumah atau naik haji. Akhirnya Marni memilih untuk biaya naik haji. Saat itu biaya naik haji sekitar 35 juta. Bapak habis mendapatkan pesangon pensiun dan sebagian untuk melunasi kursi haji senilai 25 juta. Hanya selang dua tahun, akhirnya Marni berangkat bersama adiknya ke tanah suci. Usia masih muda tentu masih memiliki tenaga penuh untuk melakukan ibadah fisik ini.

“Ya Allah, sajadah ini mengingatkanku dua belas tahun yang lalu saat ke Baitullah,” gumam Marni dengan lirih. Tak terasa satu demi satu air matanya tak terbendung lagi. Rindu yang membuncah untuk mendatanginya kembali. Mekkah Al Mukaromah, di mana Ka`bah dibangun dan pahala berlipat saat sholat di Masjidil Haram.

Saat berangkat ke Mekah, Marni baru memiliki dua anak. Lifa berusia 5 tahun dan Ijad baru 2 tahun. Marni sudah berpindah tempat kerja dan jauh dari rumah Bapak dan Ibu. Suami Marni pun sudah bekerja di sana. Untuk pengasuhan anak, Lifa ikut ayahnya dan Ijad dititipkan di rumah Bapak. Sepekan sekali Lifa dan ayahnya menengok Ijad. Saat hari Senin pagi, Lifa berangkat sekolah langsung dari rumah Bapak.
“Mbah Kakung, mau ke mana?” tanya Ijad kecil.
“Mbah mau sholat subuh ke masjid, Ijad mau ikut?” tanya Bapak.
“Iya Mbah, tapi aku ga ikut sholat, aku masih ngantuk,” kata Ijad kecil.
“Ya, sana pipis dulu sama Mbah Uti,” perintah Bapak.

Ijad kecil akhirnya ikut ke masjid dan hanya duduk di depan pintu masjid. Karena lama menunggu, kadang tertidur kembali di masjid.  Suami Marni harus berperan ganda sebagai seorang ayah sekaligus ibu. Tugas membereskan rumah, mencuci, memandikan dan mempersiapkan makan serta peralatan sekolah semua dilakukannya. Sebetulnya waktu itu ada bibi yang biasa mengasuh Ijad, namun karena tidak ada Ijad jadi bibi minta libur.

“Emak, kapan pulang ya, Yah?” tanya Lifa.
“Masih sepuluh hari lagi Lifa,” jawab Ayah.
“Lifa ingin dibelikan boneka unta dan baju hangat sama Emak,” pinta Lifa.
“Ya, nanti kita telepon Emak. Sekarang masih malam di sana,” jawab Ayah.

Keesokan harinya Lifa tak sabar ingin segera menelepon Emak. Waktu itu belum ada telepon video call, hanya telepon biasa saja sudah mengobati rindunya. Nampak Lifa senang sekali bisa menyampaikan keinginannya. Lifa juga bercerita kegiatan di sekolah. mengikuti manasik haji dengan berpakaian serba putih. Lifa pun mendapat hadiah boneka dari temannya, katanya supaya Lifa tidak sedih saat Emak jauh darinya.

Tibalah rukun haji wukuf di Padang Arafah. Nampak Arafah seperti lautan manusia. Semua sisi jalan dipenuhi dengan sesak. Lalu lalang jamaah haji menunaikan rukun haji. Dari segala penjuru negara, semuanya berkumpul di satu titik. Kesabaran dan kekuatan mulai diuji. Antri makanan dan ke kamar mandi adalah hal biasa. Semuanya harus menjaga hati dan tutur kata. Buruk kata yang diucapkan nantinya akan menjadi kenyataan. Berprasangka yang baik hendaknya dikedepankan. Itulah sepenggal kenangan Marni saat di Baitullah.

Tibalah waktu Marni mengajar di sebuah TPQ di samping masjid. Marni dan suaminya dibantu dua orang guru yang rumahnya terletak di depan masjid. Renovasi masjid pun berkat bantuan dari dana wakaf Timur Tengah. Selain masjid, pewakaf juga memberi bangunan TPQ sebanyak dua ruangan. Akhirnya dibukalah tempat mengaji. Berawal hanya anak di perumahan sekarang sudah melebar ke sekeliling perumahan. Jumlah santrinya pun mencapai 80an.

Karena pandemi, protokoler kesehatan pun diterapkan. Penyediaan tempat cuci tangan dan sabun, handsanitizer tidak terlupakan. Jadwal masuk dan jumlah santri yang masuk pun diatur untuk mengurangi kerumunan. Waktu mengaji juga diperpendek. Pengajian hanya diisi hafalan selama 15 menit dan dilanjutkan privat. Anak-anak ada yang memakai masker maupun faceshield. Tempat duduk diatur, anak-anak harus menempati duduk yang ada tanda hitamnya. Mereka duduk berjarak. Jika ada anak yang tidak mematuhi aturan, biasanya akan diingatkan supaya besok tidak mengulanginya kembali. Setelah selesai mengaji satu persatu, anak-anak diperbolehkan langsung pulang.

Bapak Ahmad berpakaian koko warna coklat. Rambutnya yang sudah memutih tertutupi kopiah kecil berwarna coklat. Bapak Ahmad adalah Takmir Masjid TPQ ini. Setelah sholat asar, beliau menemui Marni. Marni sedang mempersiapkan tempat dan menyapu ruangan TPQ.
“Bu Marni, maaf untuk anak-anak jika ada yang sakit lebih baik tidak perlu berangkat mengaji dulu,” perintah Bapak Ahmad.
“Nggih, Pak. Saya sudah menyampaikan ke anak-anak dan wali santri,” jawab Marni.
“Begitu pula jika ada yang sekitar rumahnya terpapar Covid 19,” lanjut Bapak Ahmad.
“Siap Pak, anak-anak juga tidak masuk setiap hari. Saya akan meliburkan untuk sementara waktu jika kondisinya tidak memungkinkan lagi,” tambah Marni.

Tujuan diadakan Taman Pendidikan Al Quran ini adalah untuk memberikan tempat agar anak-anak bisa membaca Al Qur`an sejak dini. Agenda berikutnya adalah membuat majelis taklim untuk wali santri agar senantiasa terjaga keimanan dan ketaqwaannya. Marni berdoa mudah-mudahan pandemi ini segera berakhir. Anak-anak akan belajar seperti semula dan bermain serta berkumpul bersama teman-temannya.

Sebelum ada pandemi, setiap Ahad sore banyak ibu-ibu mengaji. Mereka ingin belajar membaca Al Qur`an supaya lebih lancar lagi dan betul bacaannya. Sebelum penutupan, biasanya suami Marni memberikan sedikit tausyiah sebagai siraman rohaninya. Pengisi tausyiah pun bergilir sesuai bidang kajian.

Keluarga Marni ingin menebar kebaikan dan manfaat untuk orang lain, selagi masih ada tenaga dan waktu. Bukankah ada pesan yang bijak, “Berkawanlah dengan penjual minyak wangi, maka kita akan mendapatkan keharuman di sekelilingnya”. Orang lain merasa tenteram dan tenang saat kita berada di sampingnya. Semua itu akan kembali kepada kita sebagai bekal amal jariyah untuk kehidupan di akhirat kelak.

#Tantangan hari ke-13 lomba Menulis di blog menjadi buku

Profil Penulis
Safitri Yuhdiyanti, S.Pd.AUD. Aktifitas sebagai guru di TK Negeri Pembina Bobotsari. NPA : 12111200300.

https://terbitkanbukugratis.id/safitri-yuhdiyanti/02/2021/penjual-minyak-wangi/

2 komentar:

  1. Kisahnya panjang juga ya bu,semoga lancar kegiatannya.

    BalasHapus
  2. Semoga bisa dirangkai jadi cerpen bun..terima kasih kunjungannya

    BalasHapus

Penyaluran Sedekah Air Bersih

  Penyaluran Sedekah Air Bersih Selasa, 19 September 2023 PD Salimah Purbalingga bersama Laziz Jateng bekerja sama menyelenggarakan kegiatan...