Sayuran Mamak Siti
Sumber :m.fimela.com
“Marni, kamu beruntung sekali. Kamu menjadi pegawai di masa sekarang”. Ibu tiba-tiba mendekati Marni.
“Memangnya kenapa Bu?”. Marni penasaran dengan pernyataan ibu.
“Di jaman dulu saat ibu awal mengajar banyak menemui tantangan. Mengajar dengan jalan yang masih berbatu dan jauh dari kota.” Ibu bercerita sampai berkaca-kaca mengenang ceritanya.
Marni memiliki ibu seorang pensiunan guru. Ibunya lulusan dari Pendidikan Sekolah Agama. Saat itu, karena keterbatasan biaya, akhirnya ibu hanya menamatkan sampai tingkat SMA. Profesi guru di jaman itu adalah profesi yang jarang diminati banyak orang.
***
“Ayo, Bu. Ini sudah hampir jam 7, nanti ibu terlambat mengajar,” kata Bapak yang sedang memakai sepatu panjangnya. Istilahnya sepatu but. Sepatu warna hitam yang terbuat dari plastik dengan bahan karet. Tingginya kurang lebih sampai 30 cm hampir menyentuh lutut. Bapak sengaja memakai sepatu itu karena medan kerja Bapak di dataran tinggi yang berwarna merah. Saat musim hujan, pasti tanahnya akan licin dan becek.
“Iya, tunggu. Ibu ambil tas dulu,”.
“Mb War, tolong dijaga Marni ya, jangan lupa disuapin!”, pesan Ibu.
Mb War adalah orang yang mengasuh Marni sejak kecil. Orangnya memiliki rambut yang panjang dan bermata bulat. Sifatnya juga sabar dalam menjaga Marni.
Ibu dan Bapak berangkat kerja berboncengan. Wilayah kerja dinas Bapak dan Ibu sejalan arahnya. Kurang lebih memakan waktu 30 menit untuk sampai ke sekolah.
Sepanjang perjalanan hawanya masih dingin. Kanan kiri banyak pepohonan besar. Untuk menuju ke tempat sekolah, Ibu harus melewati pinggiran bendungan. Sebetulnya ada dua jalan untuk menuju ke sana.
“Bu, nanti turun dekat dermaga ya, ini hari Selasa banyak perahu yang menuju ke sana karena bersamaan dengan pasar ikan.”
“Ya bisa, Pak. Aku turun di sini, nanti pulangnya aku jemput di sini juga ya.”
“Ya, hati-hati,” ucap Bapak. Ibu lantas mencium tangan Bapak dan menuju ke bawah. Perahu sudah menanti para penumpang. Setelah menunggu 2 orang lagi, berangkatlah perahu tadi. Perahu feri yang dikendalikan dengan mesin dan bahan bakar solar. Penumpang banyak yang membawa ikan. Ada pula sekeranjang sayur mayur.
Sampailah Ibu di tempat pemberhentian perahu. Semua penumpang turun. Pak Nahkoda membantu menurunkan bawaan penumpang. Kemudian ibu berjalan ke atas dan bila bernasib baik, maka akan ada teman Ibu yang naik motor melewatinya. Ibu bisa sedikit lega mengurangi rasa cape. Kalau tidak ada, maka Ibu akan berjalan kaki sejauh 1 km.
“Wah rupanya, teman-temanku sudah lewat,” gumam Ibu menghilangkan kesendirian.
Peluh menetes di bajunya. Sepatu yang semula sudah bersemir hitam akhirnya menjadi pudar dan berwarna kecoklatan karena tersenggol sandal dan barang para penumpang kapal.
Anak-anak masih ada yang bermain di luar. Ternyata setelah Ibu masuk ke kantor, bel masuk segera dibunyikan. Di dalam kantor hanya ada 4 guru. Padahal ada 6 kelas yang harus diajar. Akhirnya para guru berbagi, kelas mana yang akan bergantian bisa ditinggal. Tentu saja kelas atas yang sudah lebih bisa diatur dan bisa mandiri dalam belajar.
Teng..teng..teng…Suara bel tanda masuk. Anak-anak yang bermain berhamburan berbaris di depan kelas masing-masing. Satu anak ada yang menjadi pemimpin barisan dan yang lain membentuk barisan ada 3 banjar. Sebelum masuk kelas anak-anak mengucapkan doa dan menghafal Pancasila. Pemimpin kelas mencari barisan mana yang paling lurus dan tertib. Itulah yang akan masuk kelas terlebih dahulu. Ibu siap menunggu di depan kelas untuk bersalaman dengan anak-anak.
“Assalamu`alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,” salam Ibu sambil memandangi anak-anak satu persatu.
“Wa`alaikummussalam waromatullohi wabarokaatuh,”.
“Anak-anak sebelum kita mulai pelajaran, kita membaca basmalah bersama,” Ibu menyapa anak-anak didiknya.
Anak-anak belajar dengan gaya mereka masing-masing. Ibu mengajar di kelas 2. Anak-anak masih belum bisa duduk dengan tenang. Akhirnya ibu membuka pengajaran dengan bercerita tentang Kisah Adam saat masih di surga. Anak-anak akhirnya terdiam dan mendengarkan kisahnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Tiba waktunya mereka pulang ke rumah. Semua berkemas dan memeriksa laci masing-masing, apakah ada barang yang masih tertinggal. Mereka semua ada yang tidak memakai alas kaki. Dengan alasan sepatunya masih basah dan tidak memiliki sandal. Mereka pun berpenampilan sederhana dengan hanya membawa satu buku.
Tiba-tiba ada wali murid yang mendatangi kelas Ibu. Seorang perempuan berbaju kebaya dan memakai kain jarik. Caping masih terpasang di atas kepalanya. Dia menurunkan bokor namanya tenggok berisi aneka sayuran dan hasil bumi. Ada daun singkong, daun ubi jalar, kacang panjang dan singkong.
“Ibu, maaf mengganggu waktunya. Ini saya bawa panenan dari ladang. Tolong dibawa pulang untuk ibu dan bu guru di sini. Kami terima kasih sudah mengajari anak saya,”. Dia mengatakan sambil membuka capingnya.
“Wah…terima kasih sekali Mamak Siti. Sudah repot bawa panenannya ke sekolah,”. Ibu berkata dengan senyum khasnya.
“Saya malah yang minta maaf tidak bisa membayar sekolah Siti. Sudah dua bulan ini menunggak SPPnya,” katanya dengan berat hati.
“Kami, paham bu, yang penting anak-anak memiliki semnagat untuk terus belajar dan tidak malas-malasan,” Ibu menyampaikan sambil menepuk bahu Mamak Siti.
“Ya sudah, Bu. Salam saja buat Bu Guru yang lain,” Mamak Siti berpamitan undur diri.
“Baik, Bu. Nanti saya sampaikan, sekali lagi terima kasih.” balas Ibu.
Bresss. Mendung sejak pagi tadi ternyata merupakan tanda akan turunnya hujan. Tiba-tiba awan sudah tidak kuat menahan kumpulan air. Tik…Tik…hujan pun turun. Ibu bersiap pulang dan mencari mantelnya. Akhirnya Ibu melepas sepatu dan ditinggal di sekolah. Ibu pulang menggunakan sandal jepit. Tangan kanan membawa tas dan sebelah kirinya membawa sayuran dan singkong secukupnya setelah dibagikan dengan rekan guru lainnya.
Ibu naik motor bersama temannya. Lalu Ibu diturunkan di tempat yang biasa untuk naik kapal. Hujan belum reda, tinggal gerimis kecil. Beruntunglah Ibu, ternyata kapal tidak menunggu sampai banyak penumpang. Karena sudah mendekati jam 1, Pak nahkoda menjalankan perahunya.
Pemandangan selama naik perahu yang terlihat adalah air yang menghijau dan kanan kiri hutan pinus. Konon ada yang pernah melihat sekawanan monyet melintasi pohon. Mungkin mereka sedang mencari makan. Di tengah bendungan juga ada karamba ikan tawes. Lumayan besar berukuran sekitar 10 x 20 m. Setelah 20 menit, tibalah perahu di dermaga.
“Ini, Pak bayarannya,” Ibu memberikan uang kepada pak Nahkoda.
“Iya Bu, terima kasih.” balasnya.
Ibu kembali naik ke atas dan menunggu di tempat biasa. Bapak ternyata sudah sampai terlebih dahulu. Bapak pun sudah memakai mantel hujannya. Rupanya hujan merata. Bapak Ibu pulang menuju ke rumah. Marni kecil sudah menunggu kedatangan Bapak Ibunya.
#Tantangan menulis hari ke 23 Lomba menulis di blog menjadi buku
https://terbitkanbukugratis.id/safitri-yuhdiyanti/02/2021/sayuran-mamak-siti/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar