Sepenggal Kisah Marbot Masjid
![]() |
Sumber: darun nun.com |
Sudah tidak asing kan mendengar kata "marbot". Marbot tak lain adalah orang yang diberi tugas untuk membersihkan masjid, mulai dari mengepel, menyapu lantai dan halaman bahkan sampai bertanggung jawab dalam hal ibadah sholat. Apalagi saat sholat Jumat maupun hari raya, tentu marbotlah yang mempersiapkan semua perlengkapannya. Ada mimbar, kursi, menata karpet bahkan meja dan minuman untuk para jamaah. Saat sholat tiba, dan ternyata yang diberi jadwal menjadi muazin belum hadir maka marbot akan mengambil alih tugas itu. Semuanya dikerjakan dengan ikhlas tanpa ada bayaran sepeser pun. Mungkin beda dengan masjid besar yang biasa memiliki dana infak besar tentu memikirkan nasib keseharian marbotnya.
Suami Marni bernama Anif. Dia memiliki perawakan tinggi besar dan berkulit coklat. Anif diibaratkan seperti marbot di masjid perumahan. Dia pernah menceritakan kepada Marni saat masih muda dia tinggal bersama kakaknya di Jakarta. Dia selalu berangkat sekolah lebih awal dibanding dengan teman-temannya. Dia mengayuh sepeda balap pemberian kakaknya. Jarak sampai ke rumah memakan waktu selama 20 menit. Sebelum masuk sekolah dia membersihkan dan mengepel lantai musholla. Hatinya terpanggil untuk menjadi marbot di musolla tersebut.
"Wa Hamdan, hari ini kan hari Jumat, besok jam enam kita bersih-bersih ya,"ajak Anif.
"Oke, Pak Anif. Nanti saya bawa kain pel dari rumah, yang punya masjid kemarin patah batang kain pelnya," kata Wa Hamdan.
"Bilang saja ke Pak Aris supaya membelikan kain pel," usul Anif.
Jam enam pagi, udara terasa segar. Matahari masih malu menampakkan dirinya. Kalau matahari sudah meninggi akan tampak gunung yang menjulang dihiasi awan di pinggirnya. Rumah Marni terletak di perumahan paling pojok sehingga tampaklah pemandangan indah tersebut. Masya Allah, indah sekali.
Anif ditemani Wa Hamdan membersihkan masjid sampai jam 07.30. Anif pun segera pulang karena sebentar lagi waktu berangkat kerja. Sesampainya di rumah, dia langsung mengambil handuk untuk mandi pagi. Dengan berpakaian atasan batik berwarna coklat bergaris dan celana hitam, Anif bergegas. Tanda pengenal nama tak lupa terpasang rapi di dada. Kemudian Anif sarapan pagi dengan nasi goreng buatan Marni. Nasi goreng dengan telor dan irisan sosis kesukaan Qia. Di meja tersedia sepiring tempe goreng yang masih tercium khas tempe dan ketimun. Kopi panas yang masih mengebul asapnya diseruput pelan untuk menghangatkan badan.
"Ayah, pelan-pelan makannya nanti tersedak," kata Marni mengingatkan.
"Ini sudah hampir jam delapan, Mak. Aku segera berangkat ke sekolah," jawab Anif.
Marni tidak lupa mencium tangan suaminya. Setelah itu, Anif pun bersiap mengeluarkan motor dan memanasinya. Sambil menunggu mesinnya panas, tak lupa Anif menunaikan sholat Duha yang rutin selalu dilakukan. Rupanya hari ini Marni mendapat jadwal WFH sehingga masih di rumah. Video pembelajaran untuk anak didiknya sudah dikirim melalui grup dan dishare semalam. Pembelajaran daring sekarang ini membuat Marni harus mempelajari banyak hal. Membuat video dan mengenal berbagai aplikasi untuk menunjang pembelajaran.
Suami Marni adalah seorang guru agama di sebuah sekolah dasar. Padahal sebelumnya dia tidak kuliah, hanya belajar di pondok. Di pondok, dia memperdalam membaca kitab, bahasa Arab dan tahsin Al Qur'an. Dia bercerita selepas SMA sempat ingin kuliah dan sudah mendaftar. Namun karena terbatas biaya sehingga niat untuk kuliah, akhirnya kandas. Keinginan kuat untuk memperdalam agama begitu kuat sehingga mendaftar di sebuah lembaga tahsin. Dia belajar saat sore sampai malam. Waktu pagi digunakan untuk bekerja sebagai penjual minyak wangi.
"Anif, aku pesan minyak wangi 2 ya. Nanti dibawa pas kuliah sore," pesan Edi, teman kuliah Anif.
"Ya, nanti aku bawakan. Bau parfumnya masih sama kan dengan kemarin?" tanya Anif.
"Itu saja, aku suka wanginya, segar," jawab Edi.
Ayahnya sudah meninggal saat usianya baru 3 tahun. Sebelum meninggal, ayahnya sempat dirawat di rumah sakit, ternyata sakitnya belum membaik. Sakit batuk yang kronis akhirnya tidak bisa memperpanjang usianya. Jumlah saudara kandung Anif ada 6 orang. Untuk meringankan beban keluarga, akhirnya Anif dibawa oleh kakaknya yang sudah bekerja di luar kota. Anif dibiayai sekolahnya hingga SMA.
Namun karena sudah tidak sekolah lagi, Anif ingin mandiri. Akhirnya Anif mengontrak sebuah kamar dekat dengan pondok. Anif saat di rumah kakaknya juga terbiasa bangun pagi. Sebelum berangkat sekolah Anif selalu mengepel lantai. Itu sebagai ucapan terima kasih telah memberikan tumpangan kamar untuknya. Kakaknya tidak memiliki pembantu sehingga semua pekerjaan rumah dipegang istri kakaknya.
"Mas, besok aku ijin ya mau menginap di sekolah ada acara bersama rohis," ijin Anif sambil memijit pundak kakaknya.
"Ya, yang penting untuk kegiatan positif, kakak ijinkan," jawab kakak Anif.
"Besok acara Isro Mikroj sekalian pelantikan pengurus rohis, aku jadi bendaharanya," cerita Anif.
"O,begitu. Ingat belajar tetap diutamakan, walaupun kamu sibuk dengan kegiatan di rohis," lanjut kakak Anif.
"Siap,Mas.Anif janji nilainya tidak turun lagi," janji Anif.
Kurang lebih selama sepuluh tahun Anif hidup bersama sang kakak. Kakaknya sangat menyayangi Anif. Setiap lebaran pasti Anif diajak jalan-jalan dan dibelikan baju baru. Selain itu uang seamplop pasti akan diberikannya juga. Anif orang yang hemat. Uang yang diterima tidak digunakan untuk membeli barang-barang. Walaupun semua fasilitas tercukupi, Anif tidak sombong terhadap teman-temannya.
Keinginan untuk mondok kembali menguat di hatinya. Akhirnya Anif memutuskan untuk belajar di pondok tahsin yang ada pantai utara Jawa. Pagi setelah subuh digunakan untuk setoran hafalan Al Qur'an dan waktu siang dimanfaatkan untuk menghafal. Setelah bada Isya adalah jadwal membaca kitab kuning. Kehidupan di pondok lebih sederhana, mengajarkan banyak hal. Kegiatan belanja di pasar, jadwal memasak, sampai mengantarkan Pak Kyai mengisi pengajian. Belum lagi mengontrol saluran air dan listrik yang terkadang sering tiba-tiba tidak berfungsi. Anif akhirnya turun tangan untuk segera memperbaiki saluran yang rusak. Berkat kerja yang bagus dan belajar yang tekun, saat Anif berpamitan pulang, Pak Kyai menahannya.
"Assalamu'alaikum Pak Kyai, maaf saya sepertinya dicukupkan dulu untuk belajar di sini. Sebetulnya masih belum banyak ilmu yang saya peroleh. Tapi ibu saya meminta saya supaya segera pulang," ijin Anif.
"Wa'alaikumsalam, Anif. Kamu sudah betul-betul ingin kembali lagi ke desamu? Saya sangat kehilangan kamu, saya berharap kamu di sini saja meneruskan mengajar di pondok ini," pinta Pak Kyai.
"Maaf sekali Pak Kyai, saya tidak bisa memenuhinya. Saya insyaAllah di desa akan menularkan ilmu selama di pondok dan bisa lebih mewarnai desa saya dengan nilai-nilai agama," jawab Anif dengan terbata-bata.
Anif sekarang menjadi seorang yang sering diundang sebagai pengisi pengajian. Sekolah tempat Anif mengajar menjadi rujukan bagi sekolah lainnya. Tak sia-sia walaupun dulu Anif tidak bisa kuliah di perguruan tinggi, tapi ilmu agama yang diperoleh selama di pondok dapat dijadikan bekal untuk mengajar dan meningkatkan kualitas ruhiyahnya. Sekarang Anif sudah menyelesaikan gelar Sarjananya sambil bekerja.
#Tantangan menulis hari ke-14 menulis di blog menjadi buku
https://terbitkanbukugratis.id/safitri-yuhdiyanti/02/2021/sepenggal-kisah-marbot-masjid/
👍🏻👍🏻👍🏻
BalasHapusTerima kasih jempolernya Bu Ditta
BalasHapus