Sabtu, 18 April 2020

Penerapan Multiple Intelligences di Sekolahnya Manusia

Penerapan Multiple Intelligences di Sekolahnya Manusia


Setiap insan terlahir ke dunia ini dalam keadaan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun, tidak semua pihak menyadari keragaman karakter seseorang tersebut.  Dalam pendidikan kita yang serba seragam, perbedaan kerap menjadi masalah bagi pihak sekolah dan siswa.  Sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung menyamaratakan standar kecerdasan satu siswa dengan siswa lainnya dengan penilaian metode dan paramater yang sangat sempit yaitu aspek kognitif saja.  Membangun sekolah hakikatnya adalah membangun keunggulan sumber daya manusia, sayangnya banyak sekolah yang sadar/tidak malah membunuh banyak potensi siswanya.


Di balik kebijakan penyeragaman pendidikan itu, muncul sebuah perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, sistem yang “mematikan” potensi, minat, dan bakat siswa yang dinilai bodoh, tidak layak, dan gagal.  Berikut ini kisah momen spesial yang memotret “perlawanan” yang dipelopori oleh siswa yang cerdas dan guru mereka yang bijak.  Kenyataannya, siswa yang awalnya sulit memahami materi dari gurunya, tiba-tiba berubah menjadi mudah ketika gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa.

Melukis angka
Latif adalah seorang siswa kelas 2 SD.  Latif bermasalah dalam belajar karena dia tidak pernah masuk kelas dan tidak pernah membawa buku dan alat tulis.  Akibatnya dia tidak bisa mengenal angka dan penjumlahan.  Ternyata dia berasal dari keluarga yang kurang perhatian dan kasih sayang orang tuanya.  Latif hidup bersama dengan neneknya yang sama sekali tidak peduli urusan sekolah sang cucu. 
Di balik masalah tersebut, tersimpan potensi yang luar biasa.  Latif sangat suka menggambar dan mewarnai (kecerdasan spasial visual).  Guru matematika di kelas Latif  memiliki ide untuk mengajarkan penjumlahan lewat pintu kecerdasan Latif.  Guru tersebut memberikan kesempatan kepada Latif untuk belajar dengan cara melukis angka-angka penjumlahan pada kertas folio yang disambung berjejer di dinding kelas.  Betapa antusiasnya Latif “menggambar” di dinding tersebut.  Sekarang, Latif termotivasi untuk belajar dan dia mampu menguasai penjumlahan yang dulu dibencinya.
Redefinisi Kecerdasan, Sebuah Awal yang Manusiawi
Setiap kali kita diminta siapa yang lebih cerdas : Bill Gates, J.K. Rowling, Rudi Hartono, Rudi Choerudin, atau Rudi Hadi Suwarno? Banyak yang kebingungan untuk menjawabnya.  Kecerdasan manusia dan kebutuhan untuk mengukurnya dengan berbagai instrumen dan indikator tiba-tiba menjadi hal yang penting, terutama ketika kecerdasan dihubungkan dengan syarat-syarat untuk mencapai kesuksesan hidup.  Teori kecerdasan mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983 saat Dr. Howard Gardner, mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya yang awalnya adalah wilayah psikologi ternyata berkembang ke wilayah edukasi bahkan merambah ke dunia profesional di perusahaan-perusahaan besar.
Mengapa Gardner dengan multiple intelligences-nya menyita perhatian masyarakat? Setidaknya ada tiga paradigma mendasar yang diubah Gardner, yakni :
1.      Kecerdasan tidak dibatasi tes formal
Kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam tes formal.  Sebab setelah diteliti, ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis) yang bersumber pada kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang memiliki nilai budaya (kreativitas) dan kebiasannya menyelesaikan masalah secara mandiri (problem solving).
Dalam bukunya, Smart Baby, Clever Child, Valentine Dmitriev, Ph.D. mengatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi otak manusia yaitu keturunan dan lingkungan.  Otak tumbuh sebagai hasil dari informasi yang diterima, disimpan dan diprosesnya.  Dalam banyak kasus, anak-anak yang berpotensi cemerlang tidak meraih apa yang mungkin dicita-citakan karena kemiskinan, kekuragan gizi, dan orang tua yang tidak peduli.
Sekarang, kita kembali pada kritik terhadap tes IQ yang dikembangkan oleh Alferd Binet. Rumus menghitung angka IQ adalah :
IQ = MA/CA X 100
MA adalah Mental Age, CA adalah Chronological Age
Jadi, jika usia mental seseorang sama dengan usia kronologis, IQ orang itu adalah 100.  Metode perhitungan inilah yang menimbulkan perdebatan di kalangan ahli.  Jika ada sejuta anak yang dites IQ, maka akan menghasilkan angka IQ yang dipaksa masuk dalam range angka anak bodoh, anak normal, anak cerdas, dan anak genius.
Selain Gardner, Daniel Goleman menyatakan bahwa sangat naif jika kecerdasan seseorang hanya dilihat dari interval angka IQ.  Padahal kenyataannya, kecerdasan melibatkan kecerdasan diri, disiplin, empati yang dikenal sebagai kecerdasan emosional.
2.      Kecerdasan itu multidimensi
Kecerdasan seseorang adalah proses kerja otak seseorang sampai orang itu menemukan kondisi akhir terbaiknya.  Berikut ini adalah sebagai buktinya.
Tabel 1.  Anak dengan Kondisi Akhir Terbaik di Awal Usia
No.
Nama dan asal negara
Kecerdasan yang diasah
Kondisi akhir terbaik dan umurnya
1.
Sayid Muhammad Husein Thabathaba`i (Iran)
Spasial visual
·      Hafal Al Quran beserta maknanya dengan metode photocopy memory (5 tahun)
·      Gelar doktor kehormatan dari universitas di Inggris (7 tahun)
2.
Ghefira Nurfatimah
Linguistik
·      Pemegang rekor MURI untuk penulis termuda Indonesia (kelas 2 SD)
3.
Maria Audrey Lukito (Indonesia)
Linguistik
·      Sarjana termuda Indonesia  (16 tahun)
·      Peserta termuda (14 tahun) dengan nilai tertinggi (670) ujian TOEFL
4.
Jeane Phialsa (Indonesia)
Musikal
·      Drumer profesional termuda Indonesia (7 tahun)

3.      Kecerdasan, proses discovering ability, artinya proses menemukan kemampuan seseorang.  Multiple intelligences menyarankan kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan dan mengubur ketidakmampuan atau kelemahan anak. 
Thomas Armstrong dalam karyanya, Sparking Creativity in Your Child (1993), meneliti bahwa banyak tokoh jenius namun memiliki kelemahan yang cukup parah. 

Tabel 2.  Tokoh dan Kecerdasan yang Dimiliki
No.
Tokoh
Kecerdasan yang diasah
Kondisi akhir terbaik
Kelemahan
1.
Bill Gates
Logis matematis
Pendiri perusahaan Microsoft
disleksia
2.
F.D. Roosevelt
Interpersonal
Presiden Amerika Serikat
Memimpin negara dengan duduk di kursi roda karena polio
3.
Hellen Keller
Intrapersonal
Peraih 2 piala Oscar
Buta, tuli, dan bisu sejak kecil
4.
Louis Pasteur
Naturalis
Penemu hampir 1800 vaksin
Attention Defisit Disorder (ADD)

Ketika multiple intelligences mulai diterapkan di dunia pendidikan beberapa tantangan yang harus dihadapi sebagai berikut :
1.       Beberapa elemen sistem pendidikan kita masih kurang sejalan dengan sistem pendidikan yang proporsional.  Secara teoritis, sistem pendidikan yang tidak proporsional dilihat dari segi : (1) input, bagaimana pandangan kita terhadap penerimaan siswa baru; (2) proses adalah bagaimana proses KBM yang efektif; (3) output, bagaimana pengambilan nilai yang adil dan manusiawi.
2.      Pemahaman makna yang salah tentang makna sekolah unggul.  Benarkah indikator sekolah unggul itu harus dititikberatkan pada the best input?
3.      Desain kurikulum yang masih sentralistis.  Namun sekarang pemerintah menyadari kesalahan kurikulum sentralistis sehingga diubah menjadi KTSP yang punya visi desentralisasi kurikulum.
4.      Penerapan kurikulum yang tidak sejalan dengan evaluasi hasil akhir pendidikan.  Isu UNNAS masih menjadi dilema dan justru bertentangan dengan kurikulum yang berbasis kompetensi.
5.      Proses belajar yang menggunakan kreativitas tingkat tinggi.  Kurangnya kreativitas guru mengindikasikan kualitas guru di Indonesia masih rendah.  Bagaimana kualitas dan kuantitas program pelatihan dan pengembangan guru yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan setempat?
6.      Proses penilaian hanya dilakukan secara parsial pada kemampuan kognitif yang terbesar, masih belum menggunakan penilaian autentik secara komprehensif.
Dengan tantangan tersebut, sekolah yang ingin menerapkan multiple intelligences secara tepat membutuhkan keberanian tingkat tinggi untuk berubah.  Reformasi sekolah demi keunggulan sumber daya manusia tidak bisa menunggu lagi untuk mewujudkan hal-hal baru yang saat ini dibutuhkan masyarakat di bidang apa pun.
Penerapan multiple intelligences di sekolah bukanlah suatu bidang studi.  Kesalahpahaman ini dimungkinkan karena kemiripan istilah antara jenis kecerdasan yang dimunculkan dan nama bidang studi.  Misalnya kecerdasan linguistik dianggap bidang studi Bahasa Indonesia.  Namun sebenarnya multiple intelligences adalah sebagai strategi pembelajaran untuk materi apapun dalam semua bidang studi. Strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar yang merujuk pada indikator hasil belajar yang sudah ditentukan dalam silabus. Intinya adalah bagaimana guru mengemas gaya mengajarnya agar mudah ditangkap dan dimengerti oleh siswanya.  (Penulis adalah Guru TK  Negeri Pembina Kecamatan Bobotsari)
Sumber : Sekolahnya Manusia karya Munif Chatib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penyaluran Sedekah Air Bersih

  Penyaluran Sedekah Air Bersih Selasa, 19 September 2023 PD Salimah Purbalingga bersama Laziz Jateng bekerja sama menyelenggarakan kegiatan...