Penerapan Multiple
Intelligences di Sekolahnya Manusia
Setiap insan
terlahir ke dunia ini dalam keadaan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun,
tidak semua pihak menyadari keragaman karakter seseorang tersebut. Dalam pendidikan kita yang serba seragam, perbedaan
kerap menjadi masalah bagi pihak sekolah dan siswa. Sistem pendidikan di Indonesia masih
cenderung menyamaratakan standar kecerdasan satu siswa dengan siswa
lainnya dengan penilaian metode dan paramater yang sangat sempit yaitu aspek
kognitif saja. Membangun sekolah
hakikatnya adalah membangun keunggulan sumber daya manusia, sayangnya banyak
sekolah yang sadar/tidak malah membunuh banyak potensi siswanya.
Di balik
kebijakan penyeragaman pendidikan itu, muncul sebuah perlawanan terhadap sistem
yang tidak adil, sistem yang “mematikan” potensi, minat, dan bakat siswa yang
dinilai bodoh, tidak layak, dan gagal.
Berikut ini kisah momen spesial yang memotret “perlawanan” yang
dipelopori oleh siswa yang cerdas dan guru mereka yang bijak. Kenyataannya, siswa yang awalnya sulit
memahami materi dari gurunya, tiba-tiba berubah menjadi mudah ketika gaya
mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa.
Melukis angka
Latif adalah
seorang siswa kelas 2 SD. Latif
bermasalah dalam belajar karena dia tidak pernah masuk kelas dan tidak pernah
membawa buku dan alat tulis. Akibatnya
dia tidak bisa mengenal angka dan penjumlahan.
Ternyata dia berasal dari keluarga yang kurang perhatian dan kasih
sayang orang tuanya. Latif hidup bersama
dengan neneknya yang sama sekali tidak peduli urusan sekolah sang cucu.
Di balik
masalah tersebut, tersimpan potensi yang luar biasa. Latif sangat suka menggambar dan mewarnai
(kecerdasan spasial visual). Guru
matematika di kelas Latif memiliki ide
untuk mengajarkan penjumlahan lewat pintu kecerdasan Latif. Guru tersebut memberikan kesempatan kepada
Latif untuk belajar dengan cara melukis angka-angka penjumlahan pada kertas
folio yang disambung berjejer di dinding kelas.
Betapa antusiasnya Latif “menggambar” di dinding tersebut. Sekarang, Latif termotivasi untuk belajar dan
dia mampu menguasai penjumlahan yang dulu dibencinya.
Redefinisi
Kecerdasan, Sebuah Awal yang Manusiawi
Setiap kali
kita diminta siapa yang lebih cerdas : Bill Gates, J.K. Rowling, Rudi Hartono,
Rudi Choerudin, atau Rudi Hadi Suwarno? Banyak yang kebingungan untuk
menjawabnya. Kecerdasan manusia dan
kebutuhan untuk mengukurnya dengan berbagai instrumen dan indikator tiba-tiba
menjadi hal yang penting, terutama ketika kecerdasan dihubungkan dengan
syarat-syarat untuk mencapai kesuksesan hidup.
Teori kecerdasan mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983 saat Dr.
Howard Gardner, mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman
sebelumnya yang awalnya adalah wilayah psikologi ternyata berkembang ke wilayah
edukasi bahkan merambah ke dunia profesional di perusahaan-perusahaan besar.
Mengapa
Gardner dengan multiple intelligences-nya menyita perhatian masyarakat? Setidaknya
ada tiga paradigma mendasar yang diubah Gardner, yakni :
1.
Kecerdasan tidak dibatasi tes
formal
Kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi
oleh indikator-indikator yang ada dalam tes formal. Sebab setelah diteliti, ternyata kecerdasan
seseorang itu selalu berkembang (dinamis) yang bersumber pada kebiasaannya
untuk membuat produk-produk baru yang memiliki nilai budaya (kreativitas) dan
kebiasannya menyelesaikan masalah secara mandiri (problem solving).
Dalam bukunya, Smart Baby, Clever Child, Valentine
Dmitriev, Ph.D. mengatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi otak manusia
yaitu keturunan dan lingkungan. Otak
tumbuh sebagai hasil dari informasi yang diterima, disimpan dan diprosesnya. Dalam banyak kasus, anak-anak yang berpotensi
cemerlang tidak meraih apa yang mungkin dicita-citakan karena kemiskinan,
kekuragan gizi, dan orang tua yang tidak peduli.
Sekarang, kita kembali pada kritik terhadap tes
IQ yang dikembangkan oleh Alferd Binet. Rumus menghitung angka IQ adalah :
IQ = MA/CA X 100
MA adalah Mental Age, CA adalah
Chronological Age
Jadi, jika usia mental seseorang sama dengan
usia kronologis, IQ orang itu adalah 100.
Metode perhitungan inilah yang menimbulkan perdebatan di kalangan
ahli. Jika ada sejuta anak yang dites
IQ, maka akan menghasilkan angka IQ yang dipaksa masuk dalam range angka
anak bodoh, anak normal, anak cerdas, dan anak genius.
Selain Gardner, Daniel Goleman menyatakan
bahwa sangat naif jika kecerdasan seseorang hanya dilihat dari interval angka
IQ. Padahal kenyataannya, kecerdasan melibatkan
kecerdasan diri, disiplin, empati yang dikenal sebagai kecerdasan emosional.
2.
Kecerdasan itu multidimensi
Kecerdasan seseorang adalah proses kerja otak
seseorang sampai orang itu menemukan kondisi akhir terbaiknya. Berikut ini adalah sebagai buktinya.
Tabel 1. Anak dengan Kondisi Akhir Terbaik di Awal
Usia
No.
|
Nama
dan asal negara
|
Kecerdasan
yang diasah
|
Kondisi
akhir terbaik dan umurnya
|
1.
|
Sayid
Muhammad Husein Thabathaba`i (Iran)
|
Spasial
visual
|
· Hafal
Al Quran beserta maknanya dengan metode photocopy
memory (5 tahun)
· Gelar doktor
kehormatan dari universitas di Inggris (7 tahun)
|
2.
|
Ghefira
Nurfatimah
|
Linguistik
|
· Pemegang
rekor MURI untuk penulis termuda Indonesia (kelas 2 SD)
|
3.
|
Maria
Audrey Lukito (Indonesia)
|
Linguistik
|
· Sarjana
termuda Indonesia (16 tahun)
· Peserta
termuda (14 tahun) dengan nilai tertinggi (670) ujian TOEFL
|
4.
|
Jeane
Phialsa (Indonesia)
|
Musikal
|
· Drumer
profesional termuda Indonesia (7 tahun)
|
3.
Kecerdasan, proses discovering
ability, artinya proses menemukan kemampuan seseorang. Multiple intelligences menyarankan
kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan dan mengubur
ketidakmampuan atau kelemahan anak.
Thomas Armstrong dalam karyanya, Sparking Creativity in Your Child (1993), meneliti bahwa banyak tokoh jenius namun
memiliki kelemahan yang cukup parah.
Tabel 2. Tokoh dan Kecerdasan yang Dimiliki
No.
|
Tokoh
|
Kecerdasan
yang diasah
|
Kondisi
akhir terbaik
|
Kelemahan
|
1.
|
Bill
Gates
|
Logis
matematis
|
Pendiri
perusahaan Microsoft
|
disleksia
|
2.
|
F.D.
Roosevelt
|
Interpersonal
|
Presiden
Amerika Serikat
|
Memimpin
negara dengan duduk di kursi roda karena polio
|
3.
|
Hellen
Keller
|
Intrapersonal
|
Peraih
2 piala Oscar
|
Buta,
tuli, dan bisu sejak kecil
|
4.
|
Louis
Pasteur
|
Naturalis
|
Penemu
hampir 1800 vaksin
|
Attention
Defisit Disorder (ADD)
|
Ketika multiple
intelligences mulai diterapkan
di dunia pendidikan beberapa tantangan yang harus dihadapi sebagai berikut :
1. Beberapa elemen sistem
pendidikan kita masih kurang sejalan dengan sistem pendidikan yang proporsional. Secara teoritis, sistem pendidikan yang tidak
proporsional dilihat dari segi : (1) input, bagaimana pandangan kita terhadap penerimaan siswa baru; (2) proses
adalah bagaimana proses KBM yang efektif; (3) output, bagaimana
pengambilan nilai yang adil dan manusiawi.
2. Pemahaman makna yang salah tentang makna sekolah unggul. Benarkah indikator sekolah unggul itu harus
dititikberatkan pada the best
input?
3. Desain kurikulum yang masih sentralistis. Namun sekarang pemerintah menyadari kesalahan
kurikulum sentralistis sehingga diubah menjadi KTSP yang punya visi
desentralisasi kurikulum.
4. Penerapan kurikulum yang tidak sejalan dengan evaluasi hasil akhir
pendidikan. Isu UNNAS masih menjadi
dilema dan justru bertentangan dengan kurikulum yang berbasis kompetensi.
5. Proses belajar yang menggunakan kreativitas tingkat tinggi. Kurangnya kreativitas guru mengindikasikan
kualitas guru di Indonesia masih rendah.
Bagaimana kualitas dan kuantitas program pelatihan dan pengembangan guru
yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan setempat?
6. Proses penilaian hanya dilakukan secara parsial pada kemampuan kognitif
yang terbesar, masih belum menggunakan penilaian autentik secara komprehensif.
Dengan tantangan tersebut, sekolah yang ingin menerapkan multiple intelligences secara tepat membutuhkan keberanian tingkat tinggi untuk berubah. Reformasi sekolah demi keunggulan sumber daya
manusia tidak bisa menunggu lagi untuk mewujudkan hal-hal baru yang saat ini
dibutuhkan masyarakat di bidang apa pun.
Penerapan multiple
intelligences di sekolah
bukanlah suatu bidang studi. Kesalahpahaman
ini dimungkinkan karena kemiripan istilah antara jenis kecerdasan yang
dimunculkan dan nama bidang studi.
Misalnya kecerdasan linguistik dianggap bidang studi Bahasa Indonesia. Namun sebenarnya multiple intelligences adalah
sebagai strategi pembelajaran untuk materi apapun dalam semua bidang
studi. Strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar yang merujuk
pada indikator hasil belajar yang sudah ditentukan dalam silabus. Intinya
adalah bagaimana guru mengemas gaya mengajarnya agar mudah ditangkap dan
dimengerti oleh siswanya. (Penulis adalah Guru TK Negeri Pembina Kecamatan Bobotsari)
Sumber : Sekolahnya
Manusia karya Munif Chatib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar